pose bersama di sela kuliah

pose bersama di sela kuliah
kuliah kv

adil

adil
kuliah kv

jujur

jujur
kuliah kv

Kamis, 01 Juli 2010

IMA

INFARK MIOKARD AKUT

Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) adalah kerusakan jaringan miokard akibat iskemia hebat yang terjadi secara tiba – tiba (Karim, 2006)

Penyebab IMA :
1. Aterosklerosis
Kolesterol dalam jumlah banyak berangsur menumpuk di bawah lapisan intima arteri. Kemudian daerah ini dimasuki oleh jaringan fibrosa dan sering mengalami kalsifikasi. Selanjutnya akan timbul “plak aterosklerotik” dan akan menonjol ke dalam pembuluh darah dan menghalangi sebagian atau seluruh aliran darah.

2. Penyumbatan koroner akut
Plak aterosklerotik dapat menyebabkan suatu bekuan darah setempat atau trombus dan akan menyumbat arteria. Trombus dimulai pada tempat plak ateroklerotik yang telah tumbuh sedemikian besar sehingga telah memecah lapisan intima, sehingga langsung bersentuhan dengan aliran darah. Karena plak tersebut menimbulkan permukaan yang tidak halus bagi darah, trombosit mulai melekat, fibrin mulai menumpuk dan sel-sel darah terjaring dan menyumbat pembuluh tersebut. Kadang bekuan tersebut terlepas dari tempat melekatnya (pada plak aterosklerotik) dan mengalir ke cabang arteria koronaria yang lebih perifer pada arteri yang sama.

3. Sirkulasi kolateral di dalam jantung
Bila arteria koronaria koronaria perlahan-lahan meyempit dalam periode bertahun-tahun, pembuluh-pembuluh kolateral dapat berkembang pada saat yang sama dengan perkembangan arterosklerotik. Tetapi, pada akhirnya proses sklerotik berkembang di luar batas-batas penyediaan pembuluh kolateral untuk memberikan aliran darah yang diperlukan. Bila ini terjadi, maka hasil kerja otot jantung menjadi sangat terbatas, kadang-kadang emikian terbatas sehingga jantung tidak dapat memompa jumlah aliran darah normal yang diperlukan.


Pathofisiologi
1. Iskemia
Kebutuhan akan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh darah yang terserang penyakit menyebabkan iskemia miokardium lokal. Pada iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan, dan menekan fungsi miokardium sehingga akan mengubah metabolisme yang bersifat aerob menjadi metabolisme anaerob. Pembentukan fosfat berenergi tinggi akan menurun. Hasil akhir metabolisme anaerob yaitu asam laktat akan tertimbun sehingga pH sel menurun.
Efek hipoksia, berkurangnya energi serta asidosis dengan cepat menganggu fungsi ventrikel kiri, kekuatan kontraksi berkurang, serabut-serabutnya memendek, daya dan kecepatannya berkurang. Gerakan dinding segmen yang mengalami iskemia menjadi abnormal, bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali kontraksi. Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakkan jantung akan mengubah hemodinamika. Perunahan ini bervariasi sesuai ukuran segmen yang mengalami iskemia dan derajat respon refleks kompensasi sistem saraf otonom. Menurunya fungsi ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung sehingga akan memperbesar volume ventrikel akibatnya tekanan jatung kiri akan meningkat. Juga tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan dalam kapiler paru-paru akan meningkat.
Manifestasi hemodinamika pada iskemia yang sering terjadi yaitu peningkatan tekanan darah yang ringan dan denyut jantung sebelum timbulnya nyeri yang merupakan respon kompensasi simpatis terhadap berkurangnya fungsi miokardium. Penurunan tekanan darah merupakan tanda bahwa miokardium yang terserang iskemia cukup luas merupakan respon vagus.
Iskemia miokardium secara khas disertai perubahan kardiogram akibat perubahan elektrofisiologi seluler yaitu gelombang T terbalik dan depresi segmen ST. Serangan iskemia biasanya mereda dalam beberapa menit bila ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen sudah diperbaiki. Perubahan metabolik, fungsional, hemodinamik, dan elektrokardiografik bersifat reversibel.

2. Infark
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30 - 45 menit akan menyebabkan kerusakan seluler yang irreversibel dan kematian otot atau nekrosis.Bagian miokardium yang mengalami infark akan berhenti berkontraksi secara permanen. Jaringan yang mengalami infark dikelilingi oleh daerah iskemia.
Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri, infark transmural mengenai seluruh tebal dinding miokard, sedangkan infark subendokardial nekrosisnya hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel. Letak infark berkaitan dengan penyakit pada daerah tertentu dalam sirkulasi koroner, misalnya infark anterior dinding anterior disebabkan karena lesi pada ramus desendens anterior arteria koronaria sinistra, infark dinding inferior biasanya disebabkan oleh lesi pada arteria coronaria kanan.
Infark miokardium akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang nekrosis, kehilangan daya kontraksi, sedangkan otot yang iskemia disekitarnya juga mengalami gangguan kontraksi.
Secara fungsional infark miokardium akan menyebabkan perubahan-perubahan :
 Daya kontraksi menurun
 Gerakkan dinding abnormal
 Perubahan daya kembang dinding ventrikel
 Pengurangan curah sekuncup
 Pengurangan fraksi efeksi
 Peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri
 Gangguan fungsional ini tergantung dari berbagai faktor; seperti:
 Ukuran infark : 40 % berkaitan dengan syok kardiogenik.
 Lokasi infark: dinding anterior lebih besar mengurangi fungsi mekanik dibandingkan dinding inferior.
 Fungsi miokardium yang terlibat: infark lama akan membahayakan fungsi miokardium sisanya.
 Sirkulasi kolateral: dapat berkembang sebagai respon iskemia yang kronik dan hipoperfusi regional guna memperbaiki aliran darah yang menuju ke miokardium yang terancam.
 Mekanisme kopensasi dari kardiovaskuler: bekerja untuk mepertahankan curah jantung dan perfusi perifer.
Dengan menurunnya fungsi ventrikel, diperlukan tekanan pengisian diastolik dan volume ventrikel akan meregangkan serabut miokardium sehingga meningkatkan kekuatan kontraksi (sesuai hukum starling). Tekanan pengisian sirkulasi dapat ditingkatkan lewat retensi natrium dan air oleh ginjal sehingga infark miokardium biasanya disertai pembesaran ventrikel kiri. Sementara, akibat dilatasi kompensasi kordis jantung dapat terjadi hipertrofi kompensasi jantung sebagai usaha untuk meningkatkan daya kontraksi dan pengosongan ventrikel.

Faktor-faktor resiko
1. Tidak dapat dirubah:
 Usia, pada orang tua risiko terjadi aterosklerosis lebih tinggi
 Jenis kelamin, pria memiliki risiko lebih tinggi dari pada wanita
 Ras.
 Keturunan.
2. Dapat dirubah:
a. Mayor :
 Peningkatan lipid serum
 Hipertensi
 Perokok
 diabetus militus
 kegemukan/obesitas
b. Minor :
 Stress psikologik,
 kurang aktivitas fisik.
 Tipe kepribadian

Pembagian IMA
1. Berdasarkan morfologi
a. IMA transmural
Mengenai seluruh dinding miokard dan terjadi pada daerah distribusi suatu arteri koronaria. Pada lebih 90% pasien IMA transmural berkaitan dengan trombosis koroner
b. IMA Subendokardial
Nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya berupa bercak – bercak. IMA subendokard terjadi akibat aliran darah subendokard yang menurun dalam waktu yang lama sebagai akibat perubahan derajad penyempitan arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi – kondisi seperti hipotensi, perdarahn, dan hipoksia.
2. Berdasarkan kelainan EKG
a. IMA dengan gelombang Q dan IMA tanpa gelombang Q
b. IMA dengan elevasi segment ST dan IMA tanpa elevasi segment ST


3. Berdasarkan lokasi infark :
Lead With
ECG Changes Injury/Infarc-Related Artery Area Of Damage Associated Complication
VI – V2 LCA : LAD – septal branch Septum, His Bundle, Bundle branches Infranodal block & BBBs
V3 – V4 LCA : LAD – diagonal branch Anterior Wall LV LV dysfunction, CHF, BBBs, Complete Heart Block, PVCs
V5 – V6 Plus I and aVL LCA : LCX branch High Lateral Wall LV LV dysfunction, AV nodal block in some
II,III, aVf RCA : Posterior descending branch Inferior Wall LV, Posterior Wall LV Hypotension, sensitivity to nitroglycerine, & morphine sulfate
V4R (II, III, aVF) RCA : proximal branches RV, Inferior Wall LV, Posterior Wall LV Hypotension, supranodal & AV-nodal blocks, atrial fibrillation/flutter, PACs, adverse medical reaction
V1 through V4
(marked depression) Either LCA-LCX or RCA-posterior descending branch Posterior Wall LV LV dysfunction

Manifestasi Klinis
1. Nyeri dada :
 Lokasi : retrosternal
 Sifat : seperti diremas – remas, ditusuk, panas atau ditindah barang berat. Nyeri dapat Penjalaran : ke lengan (umumnya Kiri), bahu leher, rahang, bahkan ke punggung dan epigastrium
 tidak hilang dengan istirahat atau nitrat.
 Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
 Gejala yang menyertai : Neusea dan vomiting, Sesak, kelemahan, berdebar – debar, Cemas dan gelisah, pusing, Bunyi jantung kedua yang pecah paradoksal, irama gallop, Krepitasi basal merupakan tanda bendungan paru-paru, Takikardi/bradikardi, Sesak napas, Kulit pucat Pingsan, Hipotensi
2. Kelainan EKG yang khas :
a. Fase Awal :
 Elevasi segmen ST yang non spesifik
 Gelombang T tinggi dan melebar

b. Fase evolusi lengkap :
 Elevasi segmen ST yang spesifik, konveks keatas ≥ 0,1 mV
 Gelombang T yang negatif dan simetris
 Gelombang Q patologis dengan syarat – syarat :
o Lebar ≥ 0,04 detik
o Dalam ≥ 4 mm atau ≥ 25% tinggi R
c. Fase Infark lama :
 Gelombang Q patologis, QS atau Qr
 Segmen ST yang kembali isoelektrik
 Gelombang T bisa normal atau negatif
3. Peningkatan enzim jantung :
 CKMB (Creatinin Kinase Miokardial Band)
Meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dal 10 – 24 jam dan kembali normal dalam 2 – 4 hari
 Cardiac spesifik troponin (cTn)
Ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10 – 24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5 – 14 hari, sedangkan cTn I setelah 5 – 10 hari
 Mioglobin
Dapat dideteksi 1 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4 – 8 jam
 Creatinin Kinase
Meningkat setelah 3 – 8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10 – 36 jam dan kembali normal dalam 3 – 4 hari
 Lactic De-Hydrogenase (LDH)
Meningkat setelah 24 – 48 jam bila ada infark miokar, mencapai puncak dalam 3 – 6 hari dan kembali normal dalam 8 – 14 hari.
Kenaikan nilai enzim diatas 2 kali batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard)
4. Pemeriksaan Penunjang lain :
 SGOT (Serum Glutamic Oxalotransaminase Test) Normal kurang dari 12 mU/ml. Kadar enzim ini biasanya baru naik pada 12-48 jam sesudah serangan dan akan kembali kenilai normal pada hari ke 4 sampai 7.
 Peningkatan LED, lekositosis ringan dan kadang-kadang hiperglikemia ringan.
 Kateterisasi: Angiografi koroner untuk mengetahui derajat obstruksi.
 Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan test ultrasound non invasive yang digunakan untuk memeriksa ukuran, bentuk dan pergerakan struktur jantung. Alat ini sangat berguna untuk mendiagnosa dan membedakan berbagai murmur jantung.
Ekokardiografi digunakan untuk evaluasi lebih jauh mengenai fungsi jantung, khususnya fungsi ventrikel
 Ekokardiografi Transesofagal (TEE)
Adalah tehnik ekokardiografi terbaru yang dilakukan dengan memasukkan transduser kecil melalui mulut ke esophagus.
 Radiologi. Hasil radiologi tidak menunjukkan secara spesifik adanya infark miokardium, hanya menunjukkan adanya pembesaran dari jantung.

Komplikasi
1. Gagal Jantung kongestif
Merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding yang abnormal dan mengubah daya kembang ruang jantung tersebut. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untukmengosongkan diri, maka besar curah sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Akibatnya tekanan jantung sebelah kiri meningkat. Kenaikan tekanan ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonalis. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskuler maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang interstitial. Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi udema paru-paru akibat perembesan cairan ke dalam alveoli sampai terjadi gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat meningkatnya tekanan vaskuler paru-paru sehingga membebani ventrikel kanan.

2. Syok kardiogenik
Diakibatkan karena disfungsi nyata ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang masif, biasanya mengenai lebif dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan hemodinamik progresif hebat yang irreversibel, yaitu :
 Penurunan perfusi perifer
 Penurunan perfusi koroner
 Peningkatan kongesti paru-paru

3. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau rupture nekrosis otot papilaris akan mengganggu fungsi katub mitralis, memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama sistolik. Inkompentensi katub mengakibatkan aliran retrograd dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis. Volume aliran regugitasi tergantung dari derajat gangguan pada otot papilari bersangkutan.

4. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikularis dapat menyebabkan ruptura dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel. Karena septum mendapatkan aliran darah ganda yaitu dari arteri yang berjalan turun pada permukaan anterior dan posterior sulkus interventrikularis, maka rupture septum menunjukkan adanya penyakit arteri koronaria yang cukup berat yang mengenai lebih dari satu arteri. Rupture membentuk saluran keluar kedua dari ventrikel kiri. Pada tiap kontraksi ventrikel maka aliran terpecah dua yaitu melalui aorta dan melalui defek septum ventrikel. Karena tekanan jantung kiri lebih besar dari jantung kanan, maka darah akan mengalami pirau melalui defek dari kiri ke kanan, dari daerah yang lebih besar tekanannya menuju daerah yang lebih kecil tekanannya. Darah yang dapat dipindahakan ke kanan jantung cukup besar jumlahnya sehingga jumlah darah yang dikeluarkan aorta menjadi berkurang. Akibatnya curah jantung sangat berkurang disertai peningkatan kerja ventrikel kanan dan kongesti.

5. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel jantung yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukkan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah sehingga terjadi perdarahan masif ke dalam kantong perikardium yang relatif tidak alastis tak dapat berkembang. Kantong perikardium yang terisi oleh darah menekan jantung ini akan menimbulkan tanponade jantung. Tanponade jantung ini akan mengurangi alir balik vena dan curah jantung.

6. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang merupakan predisposisi pembentukkan trombus. Pecahan trombus mural intrakardia dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik. Daerah kedua yang mempunyai potensi membentuk trombus adalah sistem vena sistemik. Embolisasi vena akan menyebabkan embolisme pada paru-paru.

7. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung berkontak dengan perikardium menjadi besar sehingga merangsang permukaan perikardium dan menimbulkan reaksi peradangan, kadang-kadang terjadi efusi perikardial atau penimbunan cairan antara kedua lapisan.

8. Sindrom Dressler
Sindrom pasca infark miokardium ini merupakan respon peradangan jinak yang disertai nyeri pada pleuroperikardial. Diperkirakan sindrom ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas terhadap miokardium yang mengalami nekrosis.

9. Aritmia
Aritmia timbul aibat perubahan elektrofisiologis sel-sel miokardium. Perubahan elektrofiiologis ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel.

Penatalaksanaan
Pengobatan iskemia miokardium ditujukan kepada perbaikan keseimbangan oksigen (kebutuhan miokardial akan oksigen) dan suplai oksigen.Untuk pemulihan dilakukukan dengan mekanisme:
 Pengurangan kebutuhan oksigen.
 Peningkatan suplai oksigen
Ada tiga penentu utama untuk pengurangan kebutuhan oksigen, yang dapat diatasi dengan terapi adalah :
 Kecepatan denyut nadi
 Daya kontraksi
 Beban akhir (tekanan arteria dan ukuran ventrikel )
 Beban kebutuhan jantung dan kebutuhan akan oksigen dapat dikurangi dengan menurunkan kecepatan denyut jantung, kekuatan kontraksi, tekanan arteria dan ukuran ventrikel.


1. Perawatan umum
a. Tirah barimg total dan dipasang monitor EKG, tekanan darah, pulse oxymetri, untuk mengetahui secara dini timbulnya penyulit ( misal aritmia, syock ).
b. dipasang akses intravena
c. Terapi oksigen
d. Diet lunak dengan porsi kecil
e. Kalau perlu obat penenang ringan (Diazepam) dan pencahar
f. Mengendalikan factor risiko

2. Terapi farmakologis
a. Antiplatelet : Aspirin, Ticlopidin atau Clopidogrel
b. Nitrat : Nitroglyserin, Isosorbid dinitrat
c. Morfin : untuk mengatasi nyeri, menenangkan penderita, mengurangi beban jantung oleh karena morfin mengurangi preload, dosis morfin diberikan secara titrasi dengan dosis kecil 1 – 2,5 mg i.v, dapat diulang setelah 3 – 30 menit.
d.  - Blocker : seperti angina tak stabil
e. ACE – Inhibitor
Diberikan sedini mungkin dengan dosis terkecil lalu ditingkatkan bertahap. Dan sebaiknya pada fase awal dipilih jenis dengan lama kerja pendek (short acting) diberikan terutama pada infark luas, infark dengan penurunan fungsi ventrikel kiri, infark dengan edema paru akut infark miokard dengan hipertensi
f. Trombolitik
Diberikan pada semua penderita IMA dengan ST-elevasi > 0,1 mV setidaknya 2 lead yang berhubungan atau adanya blokcabang berkas baru, dalam waktu < 12 jam setelah serangan pertama apabila tidak ada kontra indikasi. Makin dini diberikan, makin besar kemungkinan miokard yang dapat diselamatkan. Trombolitik yang sudah mendapatkan persetujuan FDA:
 Streptokinase : 1.500.000 U diberikan dalam waktu 30 – 60 menit
 Anistreplase : 30 mg diberikan dalam waktu 5 menit
 Altplase : 100 mg diberikan dalam waktu 90 menit
 Reteplase : 10 U 2 kali diberikan dalam waktu 30 menit


g. Heparin Unfractionated
o Setelah pemberian alteplase : diberikan bolus 60 U/kb BB dilanjutkan drip 12 U/Kg BB/jam, maksimum bolus 4000 U dan 1000 U/jam untuk penderita dengan berat badan > 70 Kg. dosis diatur untuk mendapatkan aPTT 1,5 sampai 2 kali control.
o Pada semua penderita IMA yang tidak diberikan trombolitik yang tidak ada kontra indikasi terhadap heparin. Diberikan secara subcutan 7.500 U 2 kali sehari
o Penderita dengan risiko tinggi untuk terjadi embolisistemik : infark luas, atrial fibrilasi, riwayat emboli sebelumnya, diketahui adanya thrombus di ventrikel kiri. Diberikan secara intravena seperti diatas dengan aPTT 1,5 – 2 kali control. Heparin dipertahankan selama sedikitnya 48 jam, kecuali pada penderita dengan risiko emboli sistemik dapat diberikan lebih lama. Setelah 48 jam dapat dipertimbangkan untuk pemberian subcutan atau diganti dengan warfarin.
o Bila penderita sebelumnya mendapat trombolitik non selektif ( streptokinase, anistreplase, urokinase ), pemberian heparin ditunda 4 – 6 jam kemudian dan dilakukan pemeriksaan aPTT. Heparin boleh dimulai bila aPTT kurang dari 2 kali control.
h. Heparin berat molekul rendah / Low Molecular Weight Heparin
Dapat diberikan sebagai ganti heparin konvensional, oleh karena pemberiannya lebih mudah dan tidak diperlukan monitoring aPPT
i. Warfarin
Diberikan sebagai lanjutan dari heparin pada penderita dengan risiko tinggi untuk terjadinya emboli sistemik
j. Magnesium
o Bila kadar magnesium kurang dari normal
o Terjadi aritmia yang sulit diatasi atau terjadi torsade de pointes meskipun kadar magnesium tidak diketahui
o Diberikan bolus i.v 1 – 2 gr dengan konsentrasi 20%
k. Statin
Diberikan seperti angina tak stabil


ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian.
a. Kualitas Nyeri dada : seperti terbakar, tercekik, rasa menyesakkan nafas atau seperti tertindih barang berat.
b. Lokasi dan radiasi : retrosternal dan prekordial kiri, radiasi menurun ke lengan kiri bawah dan pipi, dagu, gigi, daerah epigastrik dan punggung.
c. Faktor pencetus : mungkin terjadi saat istirahat atau selama kegiatan.
d. Lamanya dan factor-faktor yang meringankan : berlangsung lama, berakhir lebih dari 20 menit, tidak menurun dengan istirahat, perubahan posisi ataupun minum Nitrogliserin.
e. Tanda dan gejala : Cemas, gelisah, lemah sehubungan dengan keringatan, dispnea, pening, tanda-tanda respon vasomotor meliputi : mual, muntah, pingsan, kulit dinghin dan lembab, cekukan dan stress gastrointestinal, suhu menurun.
f. Pemeriksaan fisik : mungkin tidak ada tanda kecuali dalam tanda-tanda gagalnya ventrikel atau kardiogenik shok terjadi. BP normal, meningkat atau menuirun, takipnea, mula-mula pain reda kemudian kembali normal, suara jantung S3, S4 Galop menunjukan disfungsi ventrikel, sistolik mur-mur, M. Papillari disfungsi, LV disfungsi terhadap suara jantung menurun dan perikordial friksin rub, pulmonary crackles, urin output menurun, Vena jugular amplitudonya meningkat ( LV disfungsi ), RV disfungsi, ampiltudo vena jugular menurun, edema periver, hati lembek.
g. Parameter Hemodinamik : penurunan PAP, PCWP, SVR, CO/CI.

2. Diagnosa Keperawatan.
a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokard
b. CO menurun berhubungan dengan faktor-faktor elektrik (disritmia), penurunan kontraksi miokard, kelainan struktur (disfungsi muskulus papilari dan ruptur septum ventrikel).
c. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan transport oksigen sekunder terhadap CO menurun
e. Perubahan pola eliminasi ; konstipasi berhubungan dengan keterbatasan tingkat aktivitas
f. Risiko ketidakefektifan regimen terapiutik berhubungan dengan kurang pengetahuan
3. Perencanaan.
Kriteria Evaluasi :
1. Memelihara keseimbangan antara suplai oksigen ke jantung dengan kebutuhan oksigen jantung, tidak merasakan nyeri dada.
2. Memelihara stabilitas hemodinamik ; tidak memperlihatkan tanda dan gejala gagal jantung, misalnya diaphoresis, hipotensi, perubahan status mental, kulit dingin.
3. Tidak mengalami aritmia, denyut nadi 60 – 100 kali per menit, irama normal sinus rhythm.
4. Pasien akan mendemonstrasikan kecemasannya berkurang.
5. Menunjukkan pola eliminasi normal
6. Pasien patuh terhadap prosedur pengobatan dan perawatan

DAFTAR PUSTAKA

Harun Syaharuddin (2001), Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskuler, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Hazinski Mary Fran (2004), Handbook of Emergency Cardiovaskuler Care for Healthcare Providers, AHA, USA

Joewono Budi Prasetyo (2003), Ilmu Penyakit Jantung, Airlangga University Press, Surabaya

Jota Santa (2002), Diagnosis Penyakit Jantung, Widya Medika, Jakarta

Joyce Levefer (1997), Buku Saku Pemeriksaan Labotatorium dan Diagnostik dengan Implikasi Keperawatan, EGC, Jakarta

Kalim Harmani, dkk (2004), Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST Elevasi, PERKI

Kalim Harmani, dkk (2004), Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Dengan ST Elevasi, PERKI

Karim Syukri (2006), EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung Untuk Dokter Umum, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Pratanu Sunoto (2000), Kursus EKG, PT Karya Pembina Swajaya, Surabaya

Rourke Robert A. (2005), Hurst’s The Heart Manual of Cardiology 11th edition, Mc Braw-Hill Co, USA

Ruhyanudin Faqih (2006), Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler, UMM Press, Malang

Smeltzen Suzanne (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner and Suddarth edisi 8 Vol.2, EGC, Jakarta

Tjokronegoro Arjatmo (1998), Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Woods Susan L (2005), Cardiac Nursing 5th edition, Lippincott Williams and Walkins, USA






MITRAL STENOSIS

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA KLIEN DENGAN MITRAL STENOSIS
Definisi
Mitral stenosis dapat diartikan sebagai blok aliran darah pada tingkat katup mitral, akibat adanya perubahan struktur mitral leaflets, yang menyebabkan tidak membukanya katup mitral secara sempurna pada saat diastolic (Manurung, 1998).
Berkurangnya ukuran pembukaan katup mitral (< 2 cm2) yang menimbulkan gangguan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri saat diastole (Boestan, 2006).
Penebalan progresif dan pengerutan bilah-bilah katup mitral, yang menyebabkan penyempitan lumen dan sumbatan progresif aliran darah. Pembukaan katup mitral normal selebar tiga jari. Pada kasus stenosis berat terjadi penyempitan lumen sampai selebar pensil (Muttaqin, 2009).
Etiologi
Penyebab utama adalah demam rematik. Penyebab lainnya adalah kelainan kongenital, komplikasi dari karsinoid malignan, SLE, arthritis rheumatoid, dan proses penuaan.
Patofisiologi
Stenosis mitral menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri selama fase diastolic ventrikel. Untuk mengisi ventrikel dengan adekuat dan mempertahankan curah jantung, atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih besar untuk mendorong darah melampaui katup yang menyempit. Karena itu selisih tekanan atau gradient tekanan antara dua ruang tersebut meningkat. Dalam keadaan normal selisih tekanan tersebut minimal.
Pada MS ringan, darah dapat mengalir dari atrium kiri bila ada perbedaan tekanan yang abnormal meskipun kecil. Pada MS yang kritis, perbedaan tekanan atrioventrikuler sekitar 20 mmHg diperlukan untuk mempertahankan curah jantung yang normal saat istirahat. Peningkatan tekanan atrial kiri tersebut akhirnya akan meningkatkan tekanan kapiler dan vena pulmonal sehingga timbul dipsnea. Dispnea biasanya dipresipitasi oleh takikardia akibat latihan, stress emosional, hubungan seksual, infeksi, kehamilan atau atrial fibrilasi (AF).

Perubahan anatomis
Perubahan anatomis pada stenosis mitral dapat terjadi pada (Manurung, 1998):
1. Komisura, menyebabkan saling mendekat satu sama lain dan bentuknya akan berubah.
2. Cups, daun katup, menjadi menebal serta berubah kearah jaringan fibrosa.
3. Chordae tendinae menebal. Memendek serta dapat saling melekat.

Komplikasi
Komplikasi mitral stenosis antara lain (Manurung, 1998):
1. Fibrilasi atrium
2. Emboli sistemik
3. Hipertensi pulmonal dan dekompensasi jantung
4. Endokarditis
Pengkajian body system
1. B1: Breath
Didapatkan dipsnea, ortopnea, hyperpnea, riwayat infeksi saluran nafas, ronki, suara parau, hemoptisis.
2. B2: Blood
Denyut nadi lemah dan sering tidak teratur. Takikardia, murmur, sianosis, bunyi jantung dua dapat mengeras disertai bising sistole karena adanya hipertensi pulmunal, CVP meningkat, gambaran EKG dapat terlihat P mitral, fibrilasi artrial dan takikardia ventrikel. pulsus perifer kecil bila stroke volume berkurang. Hipertropi ventrikel kanan. Keluhan nyeri dada.
3. B3: Brain
Kesadaran: compos metis, gelisah.
4. B4: Bladder
Oligoria bila terjadi penurunan perfusi ke renal. Produksi urine juga bisa normal 0,5-1cc/kgbb/jam.
5. B5: Bowel
konstipasi
6. B6:
Keluhan lelah, edema perifer, kulit pucat, lembab, sianosis, diaporesis
Pemeriksaan penunjang
1. EKG
P mitral (pembesaran atrium kiri), deviasi aksis ke kanan, hipertropi ventrikel kanan, atrial fibrilasi.
2. Foto rontgen dada
Dilatasi atrium kiri, pembesaran arteri pulmonal, atrium dan ventrikel kanan pada MS berat, kalsifikasi katup mitral, tanda-tanda bendungan vena pulmonalis, edema interstitial, edema paru (bat wing appearance).
3. Laboratorium
Pemeriksaan khusus untuk menegakkan ada tidaknya reuma aktif, leukositosis, ASTO, CRP.
4. Ekokardiografi
Menentukan derajat MS dari area katup mitral, mengukur dimensi atrium kiri dan ventrikel kanan, karakteristik katup mitral (dooming), skor katup mitral dan apparatus (skor wilkins/ metode French), ada tidaknya thrombus di atrium kiri, menegakkan derajat hipertensi pulmonal, kelainan katup lainnya yang menyertai, kontraktilitas ventrikel kiri.
5. Ekokardiografi transesofageal
Dilakukan bila ada keraguan kemungkinan adanya thrombus.
6. Kateterisasi
Mengukur beda tekanan antara atrium dan ventrikel kiri, menentukan derajad hipertensi pulmonal, angiografi korener bila usia penderita ≥ 40 tahun, mengevaluasi adanya ketidaksesuaian antara klinis dan ekokardiografi.
Penatalaksanaan
Pengelolaan medik
a. Obat-obatan untuk mengatasi gangguan akibat adanya obstruksi mekanis
• Beta bloker untuk memperpanjang waktu pengisian diastolic
• Diuretik, restriksi garam
• Digitalis bila diperlukan terutama pada AF yang permanen
• Antikoagulan bila ditemukan AF
• Antiaritmia (amiodaron, beta bloker, ca antagonis)
b. Obat-obatan pencegahan sekunder demam reumatik
c. Terapi untuk pencegahan terhadap endokarditis infektif
d. Terapi terhadap anemia, infeksi, hindari aktifitas yang berat.
Pengelolaan intervensi
1. Intervensi non bedah: Valvotomy (percutaneous ballon mitral valvuloplasty/BMV) atau (percutaneous transluminal mitral commisurotomy [PTMV)
a. Indikasi :
1) Pasien simtomatik (NYHA fungsional klas II, III atau IV), MS sedang atau berat (MVA ≤ 1.5 cm2) dan morfologi katup menguntungkan untuk PTMC tanpa adanya thrombus di atrium kiri atau MR berat.
2) Pasien asimtomatik dengan MS sedang atau berat (MVA ≤ 1.5 cm2) dan morfologi katup menguntungkan untuk PTMC dengan hipertensi pulmonal (PASP > 50 mmHg saat istirahat atau 60 mmHg saat aktivitas) tanpa adanya adanya thrombus di atrium kiri atau MR sedang-berat.
3) Pasien dengan NYHA fungsional klas III dan IV, MS sedang atau berat (MVA ≤ 1.5 cm2) dan kalsifikasi katup nonpliable yang resiko tinggi untuk pembedahan tanpa adanya thrombus di atrium kiri atau MR.
b. Kontraindikasi :
1) Bukti objektif adanya thrombus di atrium kiri atau mendekati ke katup mitral, melekat di septum.
2) Regurgitasi mitral derajat III atau lebih
3) Endokarditis infektif
4) TR berat (relative)
5) Nilai skor Wilkins katup mitral > 10 (relative)
2. Intervensi bedah
Bisa dilakukan secara terbuka atau tertutup.
Indikasi
a. Bila ditemukan kontraindikasi untuk dilakukan intervensi non bedah dan terdapat ketrampilan atau pengalaman bedah yang baik.
b. MS sedang-berat, simtomatik, dan PTMC tidak tersedia.
Jenis intervensi bedah
a. Reparasi katup mitral
b. Penggantian katup mitral
Macam-macam katup:
a. Katup bioprotesa
1) Pasien yang tidak dapat menerima (kontraindikasi) warfarin
2) Pasien ≥ 65 tahun yang tidak memiliki resiko tromboemboli
b. Katup mekanik
1) Penderita dengan harapan waktu hidup masih panjang
2) Pasien yang telah mendapat protesa katup mekanik pada katup lainnya (operasi yang kedua kalinya)
3) Laki-laki
4) Penderita dianjurkan memakai antikoagulan sepanjang umur.
Diagnosis keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan perembesan cairan, kongesti paru sekunder dari perubahan membrane kapiler alveoli
2. Ketidakefektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi mucus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal atau faringeal.
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan penurunan curah jantung ke jaringan.

DAFTAR PUSTAKA

Boestan, Iwan N. & Baktijasa, Budi. 2006. Penyakit Jantung Katup dalam Standar Diagnosis dan Terapi Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Surabaya. SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair RSU dr. Soetomo
Engram,Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2 (alih bahasa Suharyati Samba). Jakarta. EGC
Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta. Salemba Medika.
Manurung, D. 1998. Penyakit Katup Mitral dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid I edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI
Gulanick & Myers. 2009. Nursing Care Plans: Nursing Diagnosis and Interventions. Fifth edition. www.mosby.com/MERLIN/gulanick. diakses tanggal 20 Desember 2009.

Rabu, 16 Juni 2010

NSTEMI

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST ( NSTMI )

  1. Pengertian

secara klinis infark akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) sangat mirip dengan angina tidak stabil. Yang membedakan adalah adanya enzym petanda jantung yang positif.

  1. Patofisiologi

NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limposit T yang menunjukkan adanya proses imflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sel sitokin proinflamasi seperti TNFa, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati. (Sudoyo Aru W, 2006)

Manifestasi klinik

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina/terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.

Pada pemeriksaan Elektro Kardiogram (EKG)

Segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Trombolysis in Myocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupkan prediktor outcome yang buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan resiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.

Pemeriksaan Laboratorium

Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard lebih spesifik dari pada CK dan CKMB. Pada pasien IMA, peningkatan Troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.

Stratifikasi Resiko

Penilaian klinis dan EKG, keduanya merupakan pusat utama dalam pengenalan dan penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan resiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal yang segera. Karena NSTEMI merupakan penyakit yang heterogen dengan subgrup yang berbeda, maka terdapat keluaran tambahan yang berbeda pula. Penatalaksanaan sebaiknya terkait pada faktor resikonya,

Skor Resiko

Insiden keluaran yang buruk (kematian, (re) infark miokard, atau iskemia berat rekuren) pada 14 hari berkisar antara 5% dengan risiko 0-1, sampai 41% dengan skor risiko 6-7. Skor resiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI IIB dan telah divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry, terdapat banyak bukti yang menunjukkan disfungsi ginjal berhubungan dengan peningkatan resiko keluaran yang buruk. Beberapa penelitian seperti Platelet Receptor Inhibition Ischemic Syndrome Management in Patien Limited by Unstable Sign and Symptom (PRISM-PLUS). Treat Angina with Aggrastat and Determine Cost of Therapy with invasive or Conservative Strategy (TACTICS)-TIMI 18, DAN Global Use Strategies to Open Ocluded Coronary Arteries (GUSTO) IV-ACS, kesemunya menunjukkan pasien-pasien dengan kadar klirens kreatinin yang lebih rendah memiliki gambaran resiko yang lebih besar dan keluaran yang kurang baik. Walaupun strategi invasive banyak bermanfaat pada pasien disfungsi ginjal, namaun memiliki resiko perdarahan lebih banyak. Karena “molekul kecil” inhibitor GP IIb/IIIa dan LMWH diekskresikan lewat ginjal. (Sudoyo Aru W, 2006)

Newby et al. mendemonstrasikan bahwa strategi bedside menggunakan mioglobin, creatinin kinase MB dan Troponin I memberikan stratifikasi risiko yang lebih akurat dibandingkan jika menggunakan petanda tunggal berbasis laboratorium. Sabatin et al. Mempertimbangkan 3 faktor patofisiologi yang terjadi pada UA /NSTEMI yaitu :

- Ketidaksetabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi akibat mikroembolisasi

- Inflamasi vaskuler

- Kerusakan ventrikel kiri

Masing-masing dapat dinilai secara independen berdasarkan penilaian terhadap petanda-petanda seperti cardiac-spesific troponin. C-reactive protein dan brain natriuretic peptide, berturut-turut. Pada penelitian TACTICS-TIMI 18, dimana resiko relative, mortalitas 30 hari pasien dengan bio marker 0, 1, 2, dan 3 semakin meningkat berkali lipat 1,2. 1,5. 7, dan 13,0 berturut-turut. Pendekatan petanda laboratorium sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri tapi seharusnya dapat memperjelas penemuan klinis.

  1. Penatalaksanaan

Harus Istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG guna pemantauan segmen ST dan irama jantung.

Empat komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu :

Ø Terapi antiiskemia

Ø Terapi anti platelet/antikoagulan

Ø Terapi invasive (kateterisasi dini/revaskularisasi),

Ø Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sudah perawatan RS.

  1. Terapi
    1. Terapi Antiiskemia

o Nitrat ( ISDN )

o Penyekat Beta

Obat

Selektivitas

Aktivitas Agonis Parsial

Dosis umum untuk Angina

Propranolol

Tidak

Tidak

20-80mg 2 kali sehari

Metoprolol

Beta 1

Tidak

50-200mg 2 kali sehari

Atenolol

Beta 1

Tidak

50-200mg/hari

Nadolol

Tidak

Tidak

40-80mg/hari

Timolol

Tidak

Tidak

10mg 2 kali sehari

Asebutolol

Beta 1

Ya

200-600mg 2 kali sehari

Betaksolol

Beta 1

Tidak

10-20mg/hari

Bisoprolol

Beta 1

Tidak

10mg/hari

Esmolol (intravena)

Beta 1

Tidak

50-300mcg/kg/menit

Labetalol

Tidak

Ya

200-600mg 2 kali sehari

Pindolol

Tidak

Ya

2,5-7,5mg 3 kali sehari

    1. Terapi Antitrombotik

o Antitrombotik (Streptokinase, Urokinase, rt-PA)

    1. Terapi Antiplatelet

o Antiplatelet (Aspirin, Klopidogrel, Antagonis Platelet GP IIb/IIIa)

    1. Terapi Antikoagulan

o LMWH (low Molekuler weight Heparin)

    1. Strategi Invasif dini vs Konservasif dini

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan strategi invasif dini (arteriografi koroner dini dilanjutkan dengan revaskularisasi sebagaimana diindikasikan oleh temuan arteriografi) dengan strategi konservatif dini (kateterisasi dan jika diindikasikan revaskulaisasi, hanya pada yang mengalami kegagalan terhadap terapi oral/obat-obatan).

  1. Perawatan untuk pasien resiko rendah
    1. Tes stres noninvasif
    2. Hasil tes menunjukkan gambaran resiko tinggi sebaiknya menjalani arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomis, revaskularisasi dapat dilakukan
    3. Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien tes positif tapi tanpa temuan risiko tinggi.
  1. Tatalaksana Predischarge dan pencegahan sekunder

Tatalaksana terhadap faktor resiko antara lain :

Ø Mencapai berat badan optimal

Ø Nasehat diet

Ø Penghentian merokok

Ø Olah raga

Ø Pengontrolan Hipertensi

Ø Tatalaksana Diabetes Melitus dan deteksi Diabetes Melitus yang tidak dikenali sebelumnya

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian.

a. Kualitas Nyeri dada : seperti terbakar, tercekik, rasa menyesakkan nafas atau seperti tertindih barang berat.

b. Lokasi dan radiasi : retrosternal dan prekordial kiri, radiasi menurun ke lengan kiri bawah dan pipi, dagu, gigi, daerah epigastrik dan punggung.

c. Faktor pencetus : mungkin terjadi saat istirahat atau selama kegiatan.

d. Lamanya dan faktor-faktor yang meringankan : berlangsung lama, berakhir lebih dari 20 menit, tidak menurun dengan istirahat, perubahan posisi ataupun minum Nitrogliserin.

e. Tanda dan gejala : Cemas, gelisah, lemah sehubungan dengan keringatan, dispnea, pening, tanda-tanda respon vasomotor meliputi : mual, muntah, pingsan, kulit dinghin dan lembab, cekukan dan stress gastrointestinal, suhu menurun.

f. Pemeriksaan fisik : mungkin tidak ada tanda kecuali dalam tanda-tanda gagalnya ventrikel atau kardiogenik shok terjadi. BP normal, meningkat atau menuirun, takipnea, mula-mula pain reda kemudian kembali normal, suara jantung S3, S4 Galop menunjukan disfungsi ventrikel, sistolik mur-mur, M. Papillari disfungsi, LV disfungsi terhadap suara jantung menurun dan perikordial friksin rub, pulmonary crackles, urin output menurun, Vena jugular amplitudonya meningkat ( LV disfungsi ), RV disfungsi, ampiltudo vena jugular menurun, edema periver, hati lembek.

g. Parameter Hemodinamik : penurunan PAP, PCWP, SVR, CO/CI.

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri ditandai dengan :

Ø nyeri dada dengan / tanpa penyebaran

Ø wajah meringis

Ø gelisah

Ø delirium

Ø perubahan nadi, tekanan darah.

Tujuan :

Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan selama di RS

Kriteria Hasil:

Ø Nyeri dada berkurang misalnya dari skala 3 ke 2, atau dari 2 ke 1

Ø ekpresi wajah rileks / tenang, tak tegang

Ø tidak gelisah

Ø nadi 60-100 x / menit,

Ø TD 120/ 80 mmHg

Intervensi :

Ø Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan perjalanan rasa nyeri dada tersebut.

Ø Anjurkan pada klien menghentikan aktifitas selama ada serangan dan istirahat.

Ø Bantu klien melakukan tehnik relaksasi, mis; nafas dalam, perilaku distraksi, visualisasi, atau bimbingan imajinasi.

Ø Pertahankan Olsigenasi dengan bikanul contohnya ( 2-4 L/ menit )

Ø Monitor tanda-tanda vital ( Nadi & tekanan darah ) tiap dua jam.

Ø Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian analgetik.

2. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan factor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard

Tujuan :

Curah jantung membaik / stabil setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di RS

Kriteria Hasil :

Ø Tidak ada edema

Ø Tidak ada disritmia

Ø Haluaran urin normal

Ø TTV dalam batas normal

Intervensi :

Ø Pertahankan tirah baring selama fase akut

Ø Kaji dan laporkan adanya tanda – tanda penurunan COP, TD

Ø Monitor haluaran urin

Ø Kaji dan pantau TTV tiap jam

Ø Kaji dan pantau EKG tiap hari

Ø Berikan oksigen sesuai kebutuhan

Ø Auskultasi pernafasan dan jantung tiap jam sesuai indikasi

Ø Pertahankan cairan parenteral dan obat-obatan sesuai advis

Ø Berikan makanan sesuai diitnya

Ø Hindari valsava manuver, mengejan ( gunakan laxan )

3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan , iskemik, kerusakan otot jantung, penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria ditandai dengan :

Ø Daerah perifer dingin

Ø EKG elevasi segmen ST & Q patologis pada lead tertentu

Ø RR lebih dari 24 x/ menit

Ø Kapiler refill Lebih dari 3 detik

Ø Nyeri dada

Ø Gambaran foto torak terdpat pembesaran jantung & kongestif paru ( tidak selalu )

Ø HR lebih dari 100 x/menit, TD > 120/80AGD dengan : pa O2 <>2 > 45 mmHg dan Saturasi <>

Ø Nadi lebih dari 100 x/ menit

Ø Terjadi peningkatan enzim jantung yaitu CK, AST, LDL/HDL

Tujuan :

Gangguan perfusi jaringan berkurang / tidak meluas selama dilakukan tindakan perawatan di RS.

Kriteria Hasil:

Ø Daerah perifer hangat

Ø tak sianosis

Ø gambaran EKG tak menunjukan perluasan infark

Ø RR 16-24 x/ menit

Ø tak terdapat clubbing finger

Ø kapiler refill 3-5 detik

Ø nadi 60-100x / menit

Ø TD 120/80 mmHg

Intervensi :

Ø Monitor Frekuensi dan irama jantung

Ø Observasi perubahan status mental

Ø Observasi warna dan suhu kulit / membran mukosa

Ø Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya

Ø Kolaborasi : Berikan cairan IV l sesuai indikasi

Ø Pantau Pemeriksaan diagnostik / dan laboratorium mis EKG, elektrolit , GDA( Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2 ). Dan Pemberian oksigen

4. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air , peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan protein plasma.

Tujuan :

Keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan selama dilakukan tindakan keperawatan selama di RS

Kriteria Hasil :

Ø tekanan darah dalam batas normal

Ø tak ada distensi vena perifer/ vena dan edema dependen

Ø paru bersih

Ø berat badan ideal ( BB idealTB –100 ± 10 %)

Intervensi :

Ø Ukur masukan / haluaran, catat penurunan , pengeluaran, sifat konsentrasi, hitung keseimbangan cairan

Ø Observasi adanya oedema dependen

Ø Timbang BB tiap hari

Ø Pertahankan masukan total caiaran 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler

Ø Kolaborasi : pemberian diet rendah natrium, berikan diuetik.

5. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler ( atelektasis , kolaps jalan nafas/ alveolar edema paru/efusi, sekresi berlebihan / perdarahan aktif ) ditandai dengan :

Ø Dispnea berat

Ø Gelisah

Ø Sianosis

Ø perubahan GDA

Ø hipoksemia

Tujuan :

Oksigenasi dengan GDA dalam rentang normal (pa O2 <>2 > 45 mmHg dan Saturasi <>

Kriteria hasil :

Ø Tidak sesak nafas

Ø tidak gelisah

Ø GDA dalam batas Normal ( pa O2 <>2 > 45 mmHg dan Saturasi <>

Intervensi :

Ø Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot Bantu pernafasan

Ø Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan / tidak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan misal krakles, ronki dll.

Ø Lakukan tindakan untuk memperbaiki / mempertahankan jalan nafas misalnya , batuk, penghisapan lendir dll.

Ø Tinggikan kepala / tempat tidur sesuai kebutuhan / toleransi pasien

Ø Kaji toleransi aktifitas misalnya keluhan kelemahan/ kelelahan selama kerja atau tanda vital berubah.

6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miocard dan kebutuhan, adanya iskemik/ nekrotik jaringan miocard ditandai dengan gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas, terjadinya disritmia, kelemahan umum

Tujuan :

Terjadi peningkatan toleransi pada klien setelah dilaksanakan tindakan keperawatan selama di RS

Kriteria Hasil :

Ø klien berpartisipasi dalam aktifitas sesuai kemampuan klien

Ø frekuensi jantung 60-100 x/ menit

Ø TD 120-80 mmHg

Intervensi :

Ø Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD selama dan sesudah aktifitas

Ø Tingkatkan istirahat ( di tempat tidur )

Ø Batasi aktifitas pada dasar nyeri dan berikan aktifitas sensori yang tidak berat.

Ø Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktifitas, contoh bengun dari kursi bila tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat selam 1 jam setelah mkan.

Ø Kaji ulang tanda gangguan yang menunjukan tidak toleran terhadap aktifitas atau memerlukan pelaporan pada dokter.

7. Cemas berhubungan dengan ancaman aktual terhadap integritas biologis

Tujuan :

cemas hilang / berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di RS

Kriteria Hasil :

Ø Klien tampak rileks

Ø Klien dapat beristirahat

Ø TTV dalam batas normal

Intervensi :

Ø Kaji tanda dan respon verbal serta non verbal terhadap ansietas

Ø Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman

Ø Ajarkan tehnik relaksasi

Ø Minimalkan rangsang yang membuat stress

Ø Diskusikan dan orientasikan klien dengan lingkungan dan peralatan

Ø Berikan sentuhan pada klien dan ajak kllien berbincang-bincang dengan suasana tenang

Ø Berikan support mental

Ø Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi

8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang fungsi jantung / implikasi penyakit jantung dan status kesehatan yang akan datang , kebutuhan perubahan pola hidup ditandai dengan pernyataan masalah, kesalahan konsep, pertanyaan, terjadinya kompliksi yang dapat dicegah

Tujuan :

Pengetahuan klien tentang kondisi penyakitnya menguat setelah diberi pendidikan kesehatan selama di RS

Kriteria Hasil :

Ø Menyatakan pemahaman tentang penyakit jantung , rencana pengobatan, tujuan pengobatan & efek samping / reaksi merugikan

Ø Menyebutkan gangguan yang memerlukan perhatian cepat.

Intervensi :

Ø Berikan informasi dalam bentuk belajar yang berfariasi, contoh buku, program audio/ visual, Tanya jawab dll.

Ø Beri penjelasan factor resiko, diet ( Rendah lemak dan rendah garam ) dan aktifitas yang berlebihan,

Ø Peringatan untuk menghindari paktifitas manuver valsava

Ø Latih pasien sehubungan dengan aktifitas yang bertahap contoh : jalan, kerja, rekreasi aktifitas seksual.

DAFTAR PUSTAKA

Hazinski Mary Fran (2004), Handbook of Emergency Cardiovaskuler Care for Healthcare Providers, AHA, USA

Joewono Budi Prasetyo (2003), Ilmu Penyakit Jantung, Airlangga University Press, Surabaya

Joyce Levefer (1997), Buku Saku Pemeriksaan Labotatorium dan Diagnostik dengan Implikasi Keperawatan, EGC, Jakarta

Kalim Harmani, dkk (2004), Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST Elevasi, PERKI

Pratanu Sunoto (2000), Kursus EKG, PT Karya Pembina Swajaya, Surabaya

Ruhyanudin Faqih (2006), Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler, UMM Press, Malang

Woods Susan L (2005), Cardiac Nursing 5th edition, Lippincott Williams and Walkins, USA

Sudoyo Aru W , Setiyohadi B dkk,Juni 2006 “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam” Edisi ke Empat-Jilid III

Anderson Jeffrey L, 2007 “Journal of the American College of Cardiology”